Kamis, 10 Oktober 2013

BENANG TRI DATU SIMBOL SUCI YANG INDAH



Ketika kita melihat orang Hindu di Bali saat ini, maka semakin marak muncul identitas baru, selain memakai wija di dahi, banyak orang juga memakai benang tridatu, sebagai simbolis telah melalui prosesi tertentu. Apa yang bisa kita maknai dari pemandangan seperti ini? Adakah ini bentuk kreativitas beragama, dalam heterogenitasnya zaman? Sulit untuk menjawabnya dengan pasti.

Pemakaian benang tridatu, saya temui di keluarga saya pada kondisi, sebagai berikut. Pertama, saat gendongan (kulkul suci) peninggalan Kerajaan Klungkung bersuara. Kedua, ketika salah satu keluarga, pedek tangkil ke Pura Penataran Ped, di Nusa Penida. Ketiga, selesai mengikuti prosesi Agnihotra, yang dipimpin oleh Ida Rsi Agni Jaya Murti di Geriya Sampalan Kelod. Untuk yang terakhir ini sering Beliau lakukan di Bandung, kami alumni ITB, yang gandrung spiritual ketika itu, ikatan benang empat warna (merah, putih, kuning dan hitam) itu sangat membanggakan dan juga indah, di samping ada getaran kesucian dalam hati dan pikiran kami, yang memakainya.

Ida Rsi Agni Jaya Murti, memaknai penggunaan benang catur warna itu, melambangkan catur loka pala, dan energi yang mengitarinya berasal dari empat penjuru mata angin, begitulah makna yang selalu di Dharmawacanakan oleh Ida Rsi. Upacara agnihotra sangat disiplin dan konsisten hingga kini. Kami selalu mengenang dan mendapatkan pencerahan, ada semacam kerinduan di antara kami para alumni itu, yang kini menyebar ke seluruh Indonesia, kadang-kadang kami saling mngunjungi, dan datang untuk ikut sembahyang agniotra di geriya Sampalan Kelod, karena beliau sampai saat ini, sangat disiplin untuk konsisten melakukan yadnya Agnihotra, setiap purwaning tilem dan purwaning purnama.
Maraknya penggunaan benang tridatu, sebagai sebuah pertanda baru. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agama Hindu kaya dengan simbol. Simbol ini sebagai bentuk identitas untuk membedakan pada ordenary person (orang kebanyakan). Apa makna yang terkandung dari penggunaan atribut ini, dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama sebagai simbul kesucian. Kedua, eksistensi keberadaan dengan komunitas lain. Ketiga, benang tridatu dapat penangkal mara bahaya.

Benang tridatu sebagai simbol kesucian. Kesucian itu muncul, karena pikiran orang yang memakai selalu teringat tentang aspek trimurti, warna putih, hitam dan merah (Brahma, Wisnu dan Siwa). Tuhan hadir dalam benak sebagai generation, organization dan destruktion (GOD).

Berkaitan pada simbol identitas agama Hindu, maka di era globalisasi, orang kini berpaling pada identitas kelompok, karena kini telah banyak muncul merk global yang menggilas identitas lokal, agar tidak kehilangan identitas. Dalam koridor simbol itu, maka manusia disebut Homo simbolicum, yang selalu bersentuhan dengan simbol-simbol, akan kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Simbol suci kerap mengatasi kegelisahan manusia untuk memaknai dirinya dalam konstelasi alam raya dengan ketuhanan yang melingkupinya, serta keterbatasan daya analisis manusia itu, menyebabkan manusia kemudian berfilsafat untuk memberikan pemuasan secara intelektual tentang apa-apa yang membuatnya gelisah. Filsafat Wedanta memberikan uraian tentang keterkaitan manusia dengan alam raya dan Tuhan dengan sangat indah dan cerdas. Ada empat statemen berkenaan dengan itu, yakni: Prajnanam Brahman, Tat Twam Asi, Atman Brahman aikyam, Aham Brahma Asmi. Keempat pernyataan agung itu merupakan intisari Upanisad, sebuah mutiara kehidupan yang paling lengkap yang dimiliki oleh peradaban Weda. Peradaban ini awalnya memang diturunkan dan dianut oleh komunitas manusia yang hidup di lembah sungai Shindu. Yang oleh orang-orang Barat disebut Hinduism.

Dalam ajaran yang demikian luas untuk mengekstrak menjadi identitas Hindu, sebenarnya sangatlah sulit, tanpa jiwa spiritual tumbuh dalam pencariaan itu. Weda dimaknai tiada berawal dan tiada berakhir, hanya dengan pemaknaan pada evolusi spiritual manusia dari Dwaita, ke Wisista Dwaita dan akhirnya ke Adwaita dapat menjawab kesulitan itu. Banyak ahli yang ingin menggali dan mengungkap sari pati Weda, namun mereka luluh karena tercerahkan. Max Muller satu diantara banyak sarjana Barat yang mengecap manisnya ‘nektar’ Weda. Inti sari Weda ternyata ditemukan bisa dibahasakan dengan untaian kata ini “memuliakan pengorbanan sebagai kebajikan tertinggi”, Na karmana na prajaya dhanena tyagenaikena amritatwamanasu” Keabadian hanya dapat dicapai dengan pengorbanan. Harta, keturunan, maupun perbuatan baik tidak dapat memberikan kekekalan.

Identitas Hindu seolah-olah dapat muncul di hati mereka yang tercerahkan. Perubahan karakter itu seolah-olah menjadi identitas Hindu, dan kata Hindu itu sendiri menjelma menjadi sebuah identitas menganggumkan, yaitu H (humanity, kemanusian ), I (Integrity, kejujuran), N ( nationality , kebangsaan), D (devotion, kebaktian), U (Unity, kesatuan).

Kemanusiaan berangkat dari pelaksanaan kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih dan tanpa kekerasan. Ciri ini memang sulit dipisahkan dari Hindu, yang cinta damai, tanpa kekerasan. Predikat cinta damai buat Hindu tetap ajeg sampai kini karena usaha yang tanpa pamerih dari orang suci (Yogi) untuk meningkatkan spiritual masyarakat untuk selalu bertahan di jalan dharma. Para Yogi inilah yang selalu mempertahankan dan penuh disiplin menggali ajaran suci dan memperbaharui penafsiran sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara sekian banyak para yogi, guru suci dan ahli Weda dalam domain Hindu yang sangat luas, bisa disebutkan Swami Dr Vedavyasa, PhD, seorang president Yoga Brotherhood of Amerika (Inc) USA, menulis dalam bukunya Hinduism In The Space Age (1995, 47) “ A Universal Wisdom Science that is also a life disiplin for healty Harmonious and happy posterity”.

Manusia adalah mahluk yang tidak memiliki esensinya kata Sartre. Dalam konsep itu nampaknya bisa bersinggungan manakala manusia tidak memiliki identitas yang membedakan dengan segerombolan manusia yang lain. Artinya, manusia tidak dapat didefinisikan. Manusia ialah apa yang dia pilih untuk menjadi. Karena manusia dapat menjadi apa saja, di depan manusia tersedia peluang yang tidak terhingga. Agama Hindu berdiri sebagai salah satu jalan untuk membawa manusia mengenal dirinya sendiri, hakekat dirinya sendiri (true the self). Dalam konsep itu, manusia memasuki tiga tahap, yaitu (1) estetik, (2) etis (3) religiutas.

Dalam hal religiusitas ini, banyak hadir para orng suci Hindu hadir semisal Ida Rsi Agni Jaya yang bertempat di Geriya Sampalan kelod ini, yang kerap hadir memberikan aksentuasi pada identitas Hindu. Di dimensi internasional, kita bisa melihat peran strategis Swami Sathya Narayana (Swami Sai Baba). Guru Suci ini selalu memberikan panafsiran terkini tentang ajaran suci Weda dengan bahasa yang mudah dicerna, dengan organisasi internasionalnya yang hampir meliputi 165 negara di dunia mengalirkan ajaran Weda bak air bah menyusup di lintas negara dan ras bangsa ke seluruh dunia.

Di samping itu, Sai Baba, juga memiliki sebuah payung pelayanan kemanusian yang diorganisir dengan nama: Sri Sathya Sai Seva Organitations yang bergerak memberikan pelayanan kemanusiaan dengan motto sederhana: Manava seva madava seva (melayani manusia adalah juga melayani Tuhan). Dengan prinsip dasar: Religious Tolerance seolah mengembangkan Hindu modern dengan identitas kemanusiaan yang sangat intens. Sevadal-sevadal-nya juga sering menggunakan tanda ikatan benang di tangan kanannya.

Selain itu, Sebuah Wacana Swami Sai Baba tentang Weda, yang membuat para ahli teosofi dan pencinta spiritual kagum adalah kemampuan untuk memberikan terminologi modern terhadap Hindu dalam buku “ Guide to Indian Culture and Spirituality, (ed. Kausalyarani Raghavan 1990, 99) menyebutkan : The essence of all Purana and Weda is : Do good to others and keep way from doing harm to others. Doing harm to others is great papa”

Seruannya yang selalu membuat orang tersentak adalah kemanisan di balik rangkaian kata yang sulit dicari bandingangnya “Love all religions and all nations. Recognise and accept all religion as paths leading men to the same destination. All of them peace and compassion, humanity and forbearance’ (Last Para Devine Discourse, p 248). Selain itu Beliau mengatakan: “Ada dua hal yang diperlukan untuk hidup bahagia: dhanya’ bahan makanan’ untuk memelihara badan dan dhyana ’meditasi’ untuk memasuki tempat kediaman Tuhan dan lebur dalam kemuliaannya.” SriSathya Sai Saying (ed. Dr. D.R. Sadh Khandwa, 1988, 126).

Akhirnya, bukan simbolisasi identitas benang tridatu semata yang penting, adalah ketika memakai benang tridatu, juga diikuti dengan prilaku yang mengharumkan Hindu, lewat pelayanan pada semua mahkluk. Om nama Siwaya.

Sumber : I Nyoman Tika ( Majalah Hindu Raditya ) Jumat, 23 November 2012

BENANG TRIDATU



Benang dalam upacara keagamaan umat Hindu dimanfaatkan sebagai sarana dan prasarana upacara, baik itu menyendiri atau pada bebanten yang digunakan. Benang pada banten seperti dalam banten pajati, pabuat, pamendak dengan segeh agung, mengikat jempol kaki dan tangan orang meningal, pamegat, pementasan wayang gedog dan masih banyak lagi. Kegunaan benang dalam upacara keagamaan umat Hindu demikian memiliki makna khusus yang perlu ditelaah lebih mendalam. Demikian juga dengan benang Tri Datu yang perlu diuraikan, dan dimaknai. Biasanya dipakai gelang tangan, kalung, berisi uang kepeng, dan lain-lain. Ada angapan bahwa benang Tri Datu sebagai penjaga diri, jimat, sekedar ikut-ikutan trend, paica atau banyak lagi.

Hampir semua orang Bali yang beragama Hindu mengetahui benang Tri Datu atau juga sering disebut Sri datu. Secara etimologi Tri Datu berasal dari kata tri yang berarti tiga, dan datu yang berarti raja, jadi Tri Datu berarti tiga raja. Tiga raja di sini adalah tiga Dewa utama dalam agama Hindu. Tiga Dewa dimaksud adalah Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Sastra-sastra agama menguraikan bahwa Dewa Brahma dengan aksara suci Ang, memiliki urip 9 dengan sakti Dewi Saraswati, disimbolkan dengan warna merah. Dewa Wisnu dengan aksara suci Ung, memiliki urip 4 dengan sakti Dewi Sri, dengan simbol warna hitam. Dan Dewa Siwa dengan aksara suci Mang, memiliki urip 8 dengan sakti Dewi Durga, disimbolkan dengan warna putih. Ketiga aksara ini yaitu Ang, Ung, Mang bila disatukan akan menjadi aksara AUM yang bila diucapkan menjadi OM. Aksara pranawa OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sanghyang Widi Wasa.

Jalinan benang ini benar bila ukuran benangnya, besar benangnya sama dijalin saling ikat bukan terlepas begitu saja, atau bukan dijalin seperti jalinan rambut. Benang Tri Datu bagi masyarakat Hindu difungsikan sebagai sarana dan prasarana upacara keagamaan. Semua kegiatan keagamaan yang terangkum dalam Panca Maha Yajña dalam pelaksanaannya memakai benang Tri Datu. Upacara Dewa Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. Benang sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja. Dalam upacara Butha Yajña, benang Tri Datu dipakai pamogpog atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan. Pelaksanaan upacara Rsi Yajña juga memakai benang Tri Datu yang digunakan sebagai slempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya. Pada upacara Manusa Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai lambang panugrahan. Memakai benang pawitra berwarna Tri Datu bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama. Sedangkan pada upacara Pitra Yajña benang Tri Datu difungsikan sebagai panuntun atma yang telah meninggal.

Hakikatnya benang Tri Datu merupakan salah satu aktualisasi diri dalam konteks Tri Murti. Dalam ajaran agama Hindu Tri Murti adalah tiga kekuatan Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, memelihara, dan mengembalikan pada asalnya alam beserta isinya. Tri Murti merupakan tiga kekuatan Ida Sang Hyang Widhi, yang terdiri dari tiga Dewa utama, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Dewa Brahma sebagai pencipta alam beserta isinya yang disebut utpeti. Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam beserta isinya yang disebut sthiti. Dan Dewa Siwa sebagai kekuatan mengembalikan alam beserta isinya pada asalnya yang disebut pralina. Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi dan Supernatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Zat Abadi adalah sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; Kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu Zat Abadi yang disimbolkan dengan Tri Murti dan diaktualisasikan dengan benang Tri Datu. Memakai benang Tri Datu diharapkan umat Hindu dapat memfungsikan Tri Pramana. Tri Pramana berarti tiga unsur yang menyebabkan terjadinya suatu kehidupan. Tri Pramana terdiri dari bayu, sabda dan idep. Tumbuhan hanya memiliki bayu atau tenaga untuk tumbuh, binatang memiliki bayu dan sabda. Sehingga binatang memiliki tenaga untuk bertumbuh, berkembang, dan mengeluarkan suara. Sedangkan manusia memiliki bayu untuk tumbuh dan bergerak, sabda untuk bersuara, dan idep agar dapat berpikir sehingga bisa memilah benar dan salah, baik atau tidak baik. Penyatuan Tri Pramanan inilah merupakan jalinan kuat serta satu kesatuan utuh yang disimbolkan dengan benang Tri Datu.

Penjelasan di atas menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna diantara ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Manusia berasal dari kata Manusah, yang berakar dari kata Manu yang berarti kebijaksanaan, dan sah berarti mempunyai. Sehingga Manusia adalah makhluk hidup yang mempunyai kebijaksanan. Kebijaksanaan diperoleh dari tiga kemampuan kodrati manusia, yaitu bayu, sabda dan idep, yang dikenal dengan istilah Tri Pramana. Tri Pramana inilah yang perlu dituntun oleh ajaran agama dan ilmu pengetahuan. Bertujuan agar manusia menjadi lebih bijaksana, dan menjadi manusia yang sempurna. Makhluk lain seperti binatang hanya mempunyai dua kemampuan saja, yaitu kemampuan bergerak atau bayu dan kemampuan bersuara atau sabda.

Kitab Sarasamusccaya menyatakan, bahwa manusia wajib bersyukur karena atman telah menjelma menjadi makhluk yang utama. Oleh karena itu gunakanlah kesempatan hidup sebagai manusia yang sempit ini dengan sebaik-baiknya. Karena kelahiran sebagai manusia sungguh sangat sulit diperoleh. Lakukanlah segala sesuatu yang baik untuk mencegah kejatuhan harkat kemanusiaan. Gunakanlah kelahiran sebagai manusia ini untuk mencapai moksa. Manusia adalah makhluk yang lemah dibanding makhluk lain, oleh sebab itu gunakan akal budi untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hanya dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat hidup dengan lebih baik.

Memahami konsep Tri Pramana akan menjadi penggerak konsep Trikaya Parisudha. Trikaya Parisudha berdasarkan etimologinya berasal dari kata Tri berarti tiga, Kaya berarti perbuatan atau prilaku, dan Parisudha berarti upaya penyucian. Trikaya Parisudha berarti upaya pembersihan atau penyucian atas tiga perbuatan atau prilaku. Tri Kaya Parisuda merupakan tiga gerak perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci disebut dengan Manacika, berkata yang baik dan benar disebut dengan Wacika, dan berbuat yang jujur adalah Kayika. Trikaya Parisudha merupakan konsep dasar manusia dalam hidupnya.

Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha sebagai aktualisasi diri ini, diharapkan umat Hindu mulai sadar akan jati dirinya. Salah satunya dengan cara introspeksi diri atau dengan istilah mulat sarira. Dengan adanya introspeksi diri ini diharapkan umat Hindu dapat hidup sesuai dengan konsep ajaran agama Hindu yang satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan. Umat Hindu akan sadar bahwasannya ini adalah bagian dari kehidupan, dan kehidupan hanyalah sebagian kecil alam semesta. Dengan mengingat-Nya, menjalankan ajaran-Nya ada kerinduan manusia untuk kembali pada-Nya.

Benang Tri Datu yang merupakan simbol dari Tri Murti, Tri Pramana, dan Tri Kaya Parisudha menuntun umat Hindu akan jati dirinya. Sehingga dapat meningkatkan kualitas dirinya menjadi lebih baik. Walau tidak mudah, tetapi lebih baik berdiri dari pada duduk, lebih baik berjalan dari pada berdiri, lebih baik berlari dari pada berjalan. Berpikir, berkata, berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi manusia kelahiran tua. Berpikir, berkata, berbuat dengan baik dan benar merupakan makanan bagi atman yang rindu akan asalnya. Benang Tri Datu, Tri Murti, Tri Pramana, Tri Kaya Parisudha, dan tri-tri yang lainya merupakan jalinan penuh misteri dan mesti diuraikan.

Sumber : I Gede Wiratmaja Karang ( Majalah Hindu Raditya )